Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah dalam Manhajus Salikin,
وَمِنْهَا: اِسْتِقْبَالُ اَلْقِبْلَةِ:
قَالَ تَعَالَى: { وَمِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ اَلْمَسْجِدِ اَلْحَرَامِ } اَلْبَقَرَةِ: 150
فَإِنْ عَجَزَ عَنِ اسْتِقْبَالِهَا لَمَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِ سَقَطَ كَمَا تَسْقُطُ جَمِيْعُ الوَاجِبَاتِ بِالعَجْزِ عَنْهَا
قاَلَ تَعَالَى: فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Di antara syarat shalat lainnya adalah menghadap kiblat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah: 150)
Ketika tidak mampu menghadap kiblat karena sakit atau sebab lainnya, maka menghadap kiblat jadi gugur sebagaimana semua kewajiban jadi gugur ketika tidak mampu. Karena Allah Ta’ala berfriman (yang artinya), “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16).
Keadaan Pertama Menghadap Kiblat Menjadi Gugur: Ketika Tidak Mampu
Dicontohkan oleh Syaikh As-Sa’di seperti dalam keadaan sakit. Keadaan lainnya seperti ketika shalat khauf (shalat dalam keadaan genting).
Tidak Ada Kewajiban Ketika Tidak Mampu
Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam bait syair kaedah fikihnya mengatakan,
وَ لَيْسَ وَاجِبٌ بِلاَ اِقْتِدَارٍ
“Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu,”
Dalam penjelasan Ghayah Al-Muqtashidin (1:189-190) disebutkan, “Setiap yang Allah dan Rasul-Nya wajibkan, atau dijadikan syarat ibadah, atau rukun ibadah, atau jadi sah tidaknya suatu ibadah, maka tetap melihat pada kemampuan. Karena hal-hal ini termasuk yang diperintahkan, sehingga perlu melihat pada kemampuan. Dalam hal ‘ajez(ketidakmampuan), maka tidak diperintahkan dan tidak dibahas sah atau tidaknya ibadah ketika itu. Seperti berdiri saat shalat, membaca surat, ruku’, dan sujud dilakukan ketika mampu. Hal tersebut jadi gugur ketika tidak mampu. Seperti saat kita mampu menutup aurat, maka menutup aurat menjadi syarat. Begitu pula bentuk ibadah lainnya seperti zakat, puasa, dan haji menjadi gugur ketika tidak mampu. Namun kalau ada pengganti, tetap beralih kepada pengganti. Seperti tidak mampu bersuci dengan air, maka beralih kepada tayamum. Tidak mampu shalat berdiri, maka diganti shalat dalam keadaan duduk. Tidak mampu berpuasa, maka diganti dengan tidak puasa dan mengeluarkan fidyah. Tidak mampu menunaikan haji dengan badan, maka ia dihajikan oleh lainnya dengan hartanya karena Allah Ta’ala berfirman, “Bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16). Juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا نَهَيتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوْهُ ، وَإَذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأَتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka jauhilah. Jika aku memerintahkan kalian pada suatu perintah, maka jalankanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari, no. 7288 dan Muslim, no. 1337, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengatakan kepada ‘Imran bin Hushain,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, maka shalatlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu, maka tidurlah menyamping.” (HR. Bukhari, no. 1117).”
Pembahasan ini akan berlanjut insya Allah. Semoga Allah menambah kita ilmu yang bermanfaat.
Referensi:
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait, 32:301-302.
- Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin. Cetakan pertama, Tahun 1434 H. Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin ‘Abdurrahman Az-Zauman. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.
- Syarh Manhaj As–Salikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
—
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.
Di Pesantren Darush Sholihin, 11 Jumadal Ula 1440 H (17 Januari 2019)
Artikel Rumaysho.Com